Friday, March 29, 2013

"Selop Jepang Dan Pistol Air"

Donny Philli

PAGI-pagi sekali, ketika sang surya belum menampakkan sinarnya, aku sudah terbangun dari tidur. Suara takbir berkumandang ke seantero Kampung Aur dari pengeras suara yang terpasang di leher kubah Masjid Jami'. Handuk kecil dililitkan dileherku, sebuah sabun mandi dan gosok gigi yang sudah diberi odol dipegang ditangan kanan.

Dengan hanya mengenakan celana dalam aku pergi keluar rumah dan menemui kawan-kawan. Ada Rustam, Tito, Agus, Majid, Dian, Iwin, Idus dan lainnya, yang sudah sedari tadi menungguku, lengkap dengan handuk, sabun dan sikat gigi, juga hanya berkolor ria. Pagi yang dingin itu menusuk kulit sampai ke tulang kecil kami. Usia kami rata-rata baru 8 tahun.

Beramai-ramai, kami menuju ke sebuah sungai bernama Sungai Deli. Kami memilih tempat tepian sungai khusus laki-laki yang berada di hulu, di Jalan Mantri. Di sungai itu terdapat dua pohon Beringin yang besar, letaknya saling berseberangan. Hanya dahan dan rantingnya saja yang saling merangkul, menyatu, rimbun dan angker. Dibawah pohon Beringin yang lebat, yang berusia ratusan tahun itu, kami membersihkan diri dengan mencebur ke dalamnya.

Air sungai saat itu tidak dalam, tapi sangat dingin sekali, jernih. Maklum di pagi itu belum banyak manusia yang melakukan aktivitasnya, mencemarkan air Sungai Deli. Bahkan bau airnya saja pun sangat harum, seharum embun pagi yang jatuh dari dedaunan pohon beringin.

Anak-anak seusia kami sangat gembira, mandi sambil bermain adalah fenomena yang terjadi pada anak-anak yang hidup dan tinggal di pemukiman pinggir Sungai Deli. Tidak saja pada saat jelang Lebaran, mandi bareng ini kami lakukan kapan saja. Pagi sekali saat berangkat sekolah, saat menjelang maghrib, siang hari bahkan saat akan bermalam minggu. Itu sudah seperti kamar mandi alam kami.

Setelah bersih-bersih kami pun pulang ke rumah masing-masing, handuk disarungkan dipinggang, celana dalam dipegang bersama sabun dan sikat gigi, lalu pergi meninggalkan tempat itu sambil mengigil kedinginan. Kedua tangan saling melipat dan mulut menggumam disertai suara gigi gemeretak saling beradu. Hembusan angin subuh membangkitkan pori-pori kulit kami.

Di rumah, aku memakai pakaian baru yang dibeli mamak, semua serba baru. Hanya saja aku tidak memiliki sepatu baru. Sepatu yang ada hanyalah sepatu sekolah, yang dibagian jempol kanannya sudah bolong.

"Sudah pakai saja selop swallow itu," kata mamak menunjuk kearah sandal jepit yang tadi kupakai untuk mandi. Sandal jepit itu berwarna putih bertali hitam terbuat dari karet. Sandal itu sudah bersih, karena aku menyucinya saat mandi tadi.

Karena tidak ada sepatu baru, mau tak mau aku pakai juga sandal jepit itu. Aku tidak ingin mengecewakan mamak, karena aku tahu mamak tidak punya uang lagi untuk membelikan aku sepatu baru. Pakaian baru yang kupakai ini pun separuhnya dibeli dengan uangku, yang diambil dari celengan hasil dari menjual koran dan menyemir sepatu. Karena mamak juga membeli pakaian baru untuk kedua adikku.

Usai Shalat Ied Idul Fitri, di Masjid Jami' Kampung Aur, sandal jepitku hilang, aku menangis karena tak punya lagi alas kaki. Kawan-kawan kulihat sudah bermain tembak-tembakan, sedangkan aku tetap tidak mau keluar dari masjid, berharap ada orang yang mau memulangkan sandalku itu.

"Ayo, Don. Main..." teriak Tito padaku. Lalu aku pun ikut bermain dengan teman-teman, bermain tembak-tembakan pistol air. Pistol air yang aku punya berukuran kecil yang aku beli dengan harga Rp 250, kalah besar dengan punya teman-teman yang lain. Bandingkan pistol air milik Tito, yang besarnya 4 kali lipat dari punyaku dan harganya Rp 1500 yang bisa memuat air 300 cc, sedangkan punyaku cuma 60 cc.

'Pertempuran' dimulai, tentu saja aku selalu kalah. Banyaknya tembakan air membuat baju baruku basah. Pertempuran ini juga tidak mengenal kawan, siapa saja yang memegang pistol air adalah musuh. Jika 'amunisi' habis, amunisi itu bisa diisi ulang di Kulah masjid (tempat berwudlu) atau di ember-ember yang berisi air cucian piring milik pedagang sate padang, lontong atau pedagang nasi yang banyak dijumpai berjualan di halaman depan masjid berlantai dua itu.

Selain basah kuyub, mataku terasa perih terkena tembakan air, karena amunisinya diisi dengan air cucian piring yang tercemar cabe dan sabun. Banyak juga kawan-kawan yang terkena air cucian itu, bagi yang tidak tahan segera mencucinya di Kulah. Termasuk mataku yang sudah teramat pedas dan perlu dicuci di Kulah.

Di dalam Kulah, aku mencari akal bagaimana mengalahkan kawan-kawan yang memiliki senjata yang lebih hebat dariku. Lalu aku menemukan cara jitu yang bikin 'musuh' kocar-kacir jika aku menembak mereka.

Setelah mengisi amunisi di Kulah, aku langsung terjun ke medan pertempuran. Setiap musuh kutembak mengenai baju dan wajahnya. Sadar mendapat serangan tak terduga, para musuh kocar-kacir menyelamatkan diri. Musuh yang tertembak mengalami penderitaan yang hebat. Selain mata perih, mulut para musuh pun terasa asin terkena peluru 'hangat' dariku. Mereka kemudian membersihkan wajahnya ke Kulah, bahkan ada yang sampai mandi.

"Air apa yang kau pakai ini, Don," protes Agus padaku. Lalu aku menjawab, "Air kencingku. Enak 'kan...?". Mendengar jawaban itu, kawan-kawan mencak-mencak dan memakiku. Mereka berniat membalas dengan air kencing mereka masing-masing. Lalu aku pun kabur menyelamatkan diri, lari ke rumah.

Di rumah aku menemukan sandal jepit ku yang sempat hilang tadi di masjid. Lalu mamak mengatakan, sandal jepit itu dibawanya pulang saat selesai Shalat Ied karena khawatir akan hilang. Hatiku pun senang dan menyimpan sandal itu sambil bersembunyi diatas loteng dari kejaran kawan-kawan. Sementara kawan-kawan memanggil-manggil namaku mengajak main lagi. Dalam hati aku tertawa terkekeh-kekeh. *** 


No comments:

Post a Comment