Donny Philli
Dengan hanya mengenakan celana dalam aku pergi keluar rumah dan
menemui kawan-kawan. Ada Rustam, Tito, Agus, Majid, Dian, Iwin, Idus dan
lainnya, yang sudah sedari tadi menungguku, lengkap dengan handuk, sabun dan
sikat gigi, juga hanya berkolor ria. Pagi yang dingin itu menusuk kulit sampai
ke tulang kecil kami. Usia kami rata-rata baru 8 tahun.
Beramai-ramai, kami menuju ke sebuah sungai bernama Sungai Deli.
Kami memilih tempat tepian sungai khusus laki-laki yang berada di hulu, di
Jalan Mantri. Di sungai itu terdapat dua pohon Beringin yang besar, letaknya
saling berseberangan. Hanya dahan dan rantingnya saja yang saling merangkul,
menyatu, rimbun dan angker. Dibawah pohon Beringin yang lebat, yang berusia
ratusan tahun itu, kami membersihkan diri dengan mencebur ke dalamnya.
Air sungai saat itu tidak dalam, tapi sangat dingin sekali,
jernih. Maklum di pagi itu belum banyak manusia yang melakukan aktivitasnya,
mencemarkan air Sungai Deli. Bahkan bau airnya saja pun sangat harum, seharum
embun pagi yang jatuh dari dedaunan pohon beringin.
Anak-anak seusia kami sangat gembira, mandi sambil bermain adalah
fenomena yang terjadi pada anak-anak yang hidup dan tinggal di pemukiman
pinggir Sungai Deli. Tidak saja pada saat jelang Lebaran, mandi bareng ini kami
lakukan kapan saja. Pagi sekali saat berangkat sekolah, saat menjelang maghrib,
siang hari bahkan saat akan bermalam minggu. Itu sudah seperti kamar mandi alam
kami.
Setelah bersih-bersih kami pun pulang ke rumah masing-masing,
handuk disarungkan dipinggang, celana dalam dipegang bersama sabun dan sikat
gigi, lalu pergi meninggalkan tempat itu sambil mengigil kedinginan. Kedua
tangan saling melipat dan mulut menggumam disertai suara gigi gemeretak saling
beradu. Hembusan angin subuh membangkitkan pori-pori kulit kami.
Di rumah, aku memakai pakaian baru yang dibeli mamak, semua serba
baru. Hanya saja aku tidak memiliki sepatu baru. Sepatu yang ada hanyalah
sepatu sekolah, yang dibagian jempol kanannya sudah bolong.
"Sudah pakai saja selop swallow itu," kata mamak
menunjuk kearah sandal jepit yang tadi kupakai untuk mandi. Sandal jepit itu
berwarna putih bertali hitam terbuat dari karet. Sandal itu sudah bersih,
karena aku menyucinya saat mandi tadi.
Karena tidak ada sepatu baru, mau tak mau aku pakai juga sandal
jepit itu. Aku tidak ingin mengecewakan mamak, karena aku tahu mamak tidak
punya uang lagi untuk membelikan aku sepatu baru. Pakaian baru yang kupakai ini
pun separuhnya dibeli dengan uangku, yang diambil dari celengan hasil dari
menjual koran dan menyemir sepatu. Karena mamak juga membeli pakaian baru untuk
kedua adikku.
Usai Shalat Ied Idul Fitri, di Masjid Jami' Kampung Aur, sandal
jepitku hilang, aku menangis karena tak punya lagi alas kaki. Kawan-kawan kulihat
sudah bermain tembak-tembakan, sedangkan aku tetap tidak mau keluar dari
masjid, berharap ada orang yang mau memulangkan sandalku itu.
"Ayo, Don. Main..." teriak Tito padaku. Lalu aku pun
ikut bermain dengan teman-teman, bermain tembak-tembakan pistol air. Pistol air
yang aku punya berukuran kecil yang aku beli dengan harga Rp 250, kalah besar
dengan punya teman-teman yang lain. Bandingkan pistol air milik Tito, yang
besarnya 4 kali lipat dari punyaku dan harganya Rp 1500 yang bisa memuat air
300 cc, sedangkan punyaku cuma 60 cc.
'Pertempuran' dimulai, tentu saja aku selalu kalah. Banyaknya
tembakan air membuat baju baruku basah. Pertempuran ini juga tidak mengenal
kawan, siapa saja yang memegang pistol air adalah musuh. Jika 'amunisi' habis,
amunisi itu bisa diisi ulang di Kulah masjid (tempat berwudlu) atau di ember-ember
yang berisi air cucian piring milik pedagang sate padang, lontong atau pedagang
nasi yang banyak dijumpai berjualan di halaman depan masjid berlantai dua itu.
Selain basah kuyub, mataku terasa perih terkena tembakan air,
karena amunisinya diisi dengan air cucian piring yang tercemar cabe dan sabun.
Banyak juga kawan-kawan yang terkena air cucian itu, bagi yang tidak tahan
segera mencucinya di Kulah. Termasuk mataku yang sudah teramat pedas dan perlu
dicuci di Kulah.
Di dalam Kulah, aku mencari akal bagaimana mengalahkan kawan-kawan
yang memiliki senjata yang lebih hebat dariku. Lalu aku menemukan cara jitu
yang bikin 'musuh' kocar-kacir jika aku menembak mereka.
Setelah mengisi amunisi di Kulah, aku langsung terjun ke medan
pertempuran. Setiap musuh kutembak mengenai baju dan wajahnya. Sadar mendapat
serangan tak terduga, para musuh kocar-kacir menyelamatkan diri. Musuh yang
tertembak mengalami penderitaan yang hebat. Selain mata perih, mulut para musuh
pun terasa asin terkena peluru 'hangat' dariku. Mereka kemudian membersihkan
wajahnya ke Kulah, bahkan ada yang sampai mandi.
"Air apa yang kau pakai ini, Don," protes Agus padaku.
Lalu aku menjawab, "Air kencingku. Enak 'kan...?". Mendengar jawaban
itu, kawan-kawan mencak-mencak dan memakiku. Mereka berniat membalas dengan air
kencing mereka masing-masing. Lalu aku pun kabur menyelamatkan diri, lari ke
rumah.
Di rumah aku menemukan sandal jepit ku yang sempat hilang tadi di masjid. Lalu mamak mengatakan, sandal jepit itu dibawanya pulang saat selesai Shalat Ied karena khawatir akan hilang. Hatiku pun senang dan menyimpan sandal itu sambil bersembunyi diatas loteng dari kejaran kawan-kawan. Sementara kawan-kawan memanggil-manggil namaku mengajak main lagi. Dalam hati aku tertawa terkekeh-kekeh. ***
No comments:
Post a Comment