Friday, March 29, 2013

"Ampas Jeruk Sepatu Kilat"


Donny Philli

SEKOLAHKU, Sekolah Dasar Negeri 060902 yang terletak di Jalan Mangkubumi Medan, mendapat giliran acara nonton bareng film perjuangan berjudul "Detik-detik Proklamasi" di Bioskop Olympia Plaza, di tahun 1987, saat itu aku masih duduk dibangku kelas IV.

Kebijakan sekolah masa itu, mewajibkan setiap murid untuk ikut menonton dan membeli tiket seharga Rp 500, kepada wali kelas. Jika tidak, maka kami dianggap alpa, dikenai denda Rp 50, dan sanksi pengurangan nilai. Harga karcis itu tak sebanding dengan uang jajan yang kuperoleh setiap hari sebesar Rp 100 dari orangtuaku.

“Ayoo..!! Siapa lagi yang mau beli karcis,” seru Pak Girsang, wali kelasku, kepada murid-muridnya yang belum membeli karcis. Satu persatu, murid-murid di kelas IV membeli karcis. Kawan-kawanku tampak gembira setelah menerima secarik karcis nonton yang tertulis judul film yang akan kami tonton.

Besok penayangan film "Detik-detik Proklamasi" akan diputar, namun aku belum juga membeli karcis. Padahal ancaman alpa, denda dan pengurangan nilai adalah nyata, karena pernah terjadi sebelumnya. Pak Girsang pun tak lupa mengeluarkan ancaman kepada kami yang belum membeli karcis.

Disamping ketakutan dengan ancaman Pak Girsang, aku pun tak mau menanggung malu sama teman-teman gara-gara tak ikut menonton. Lantas, aku tak kehilangan akal, dan terpaksa mencari duit sendiri. Sebab mengharapkan orangtua adalah mustahil. Karena kedua orangtuaku sudah cukup susah payah menafkahi 5 saudaraku. Uang jajan Rp 100 perhari itu sudah merupakan jatah harian yang tak boleh lebih dan boleh kurang.
Pulang sekolah, aku mengganti baju seragam. Celana merahnya dan sepatu hitam tetap aku pakai. Tas yang berisi buku-buku tetap kubawa, namun muatannya bertambah dengan kain lap, berus serta sekaleng semir. Kemudian aku berjalan kaki menyusuri setiap toko, kantor ke kantor dan rumah makan ke rumah makan.

Aku melaksanakan tugas rutin sebagai anak penyemir sepatu, kadang juga diselingi dengan menjual koran diperempatan jalan, di Kota Medan. Kehidupan, anak-anak Kampung Aur, tempat asalku yang terletak di Jalan Letjend Soeprapto, tepatnya dipinggir Sungai Deli, pada masa itu rata-rata menyemir sepatu dan menjual koran. Padahal, kami bukanlah anak-anak jalanan yang tanpa orangtua dan tempat tinggal. Hanya saja, penghasilan orangtua kami selalu tidak mencukupi untuk menafkahi anak-anaknya. Umumnya, setiap kepala keluarga di Kampung Aur memiliki anak lebih dari 2 orang. Itu makanya istri dan anak-anak ikut membantu menutupi kebutuhan keluarga. Istri berjualan gorengan di depan rumah, sedangkan anak-anaknya, terutama laki-laki, menyemir sepatu dan menjual koran.

Meskipun tidak semuanya anak-anak Kampung Aur bekerja menyemir sepatu dan menjual koran karena disuruh orangtua, namun sebagian dari kami mencari penghasilan tambahan hanya karena ikut-ikutan teman, karena melihat teman punya uang banyak, timbul keinginan tersendiri untuk memilikinya juga. Bahkan orangtua tak pernah melarang kami, mereka membiarkan kami dari kecil harus dibiasakan pandai mencari uang, agar kalau sudah besar bisa menjadi pengusaha yang sukses. Begitulah cita-cita orangtua di Kampung Aur pada umumnya.

Setiap orang dewasa bersepatu kulit, aku tawarkan jasa untuk menyemir sepatunya. Banyak juga yang menolak tetapi yang bersedia disemir sepatunya ada juga. Lumayan, sudah 4 pasang sepatu kusemir, setiap pasang sepatu dihargai Rp 100, namun ada juga yang memberi lebih.

Penghasilanku hari itu sebenarnya sudah cukup untuk membeli secarik karcis menonton film yang selalu diputar di TVRI saat menjelang 17 Agustus, hari dimana Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Tetapi murid-murid sekolah dasar tetap diwajibkan untuk menontonnya dengan alasan untuk menambah pengetahuan tentang sejarah perjuangan nenek moyang kita yang memerdekakan negeri ini, meskipun sebenarnya kami tahu itu untuk kepentingan komersil pihak studio film yang bekerja sama dengan sekolah-sekolah.

Namun jika hanya menonton di bioskop tanpa adanya makanan dan minuman sebagai teman selama penayangan berlangsung saja rasanya tidaklah cukup. Maka, aku harus menambah pendapatan -- bak Pemerintah Kota Medan yang mengejar PADnya -- untuk membeli cemilan tersebut.

Lalu aku tidak jadi memutar arah kembali ke rumah, tetapi berjalan menuju ke tempat jajanan kuliner etnis Tionghoa di Jalan Semarang, sekitar 500 meter dari Kampung Aur. Disana aku bertemu dengan Rustam, teman sekelasku yang juga penyemir sepatu dan menjual majalah. Teman-teman dari Kampung Aur juga ada, senasib dan seprofesi.

Semua rumah makan ternyata telah mereka klaim, artinya tidak ada penyemir lain yang boleh menyemir di tempat itu. Sedangkan aku tak punya tempat klaim, tetapi aku bebas mencari pelanggan dimana pun aku suka. Tidak ada yang melarang, karena aku anak Kampung Aur.

Tak lama aku langsung dapat dua pasang sepatu. Kukeluarkan berus, kain lap dan semir. Tetapi sial, semirku ternyata sudah habis terpakai, dan aku terpaksa mencoba meminjam semir kepada kawan-kawan. Namun tak satupun yang mau memberi dengan alasan tinggal sedikit atau habis.

Seorang teman bernama Iim, memberi saran kepadaku agar aku memakai ampas jeruk yang sudah diperas sebagai pengganti semir sepatu, itu juga yang mereka lakukan apabila semirnya sudah habis. Mulanya aku takut ketahuan oleh si pemilik sepatu, tetapi Iim terus meyakinkan aku agar aku tetap menggunakan ampas jeruk tersebut.

Aku menuruti sarannya, kemudian aku mencari tempat dibalik steling kaca bagian pembuatan juice agar tidak terlihat. Kukeluarkan berus dan kuambil ampas jeruk yang masih basah yang telah dibuang di keranjang sampah. Lalu berus ditangan mencolek ampas jeruk itu dan tanganku mengayunkan berus itu ke sepatu berkali-kali hingga sepatu itu menjadi bersih dan mengkilap.

Setelah selesai, aku mengantar dua pasang sepatu itu ke pemiliknya dengan perasaan cemas. Si pemilik rupanya cuek karena sedang asyik lagi makan sambil mengobrol dengan temannya. Lalu seorang diantaranya mengeluarkan uang lembaran Rp 1000, menyerahkannya padaku dan menyuruh aku pergi tanpa meminta kembaliannya. Aku pun senang dan segera cepat-cepat meninggalkan tempat itu sebelum kilat sepatunya memudar. Wah, senangnya hatiku. Selama dalam perjalanan pulang, aku bersiul dan berlari-lari kecil.

Esoknya aku pergi menonton bersama kawan-kawan, termasuk Rustam, di bioskop tersebut. Kami berkumpul di sekolah, kemudian mencarter mobil angkutan kota. Setiba di bioskop, tak lupa kubeli cemilan. Di dalam bioskop yang gelap, seorang teman cewek bernama Debby Shinta duduk disebelahku. Kontan saja hal itu membuat cemburu teman-teman yang lain, karena Debby Shinta termasuk salah satu idola dari 7 cewek yang ada di kelas kami. Selama pemutaran film kawan-kawan terus mengusili kami, tetapi kami tetap cuek.

Pulang menonton, aku bertemu dengan Bapakku. Dia bertanya aku habis darimana, lalu aku jawab habis pulang menonton di bioskop acara sekolah. Bapakku heran dan bertanya darimana aku dapatkan uang untuk membeli karcis, dan aku menjelaskannya panjang lebar. Setelah kujelaskan, Bapakku terharu menitikkan air mata dan memeluk diriku sambil mengusap-usap kepalaku.. (dp)

No comments:

Post a Comment