Donny Philli
SEBENTAR lagi jam 8 malam. Aku baru saja keluar dari masjid,
usai melaksanakan shalat Isya berjamaah. Anak-anak sebayaku yang berumur 9-10
tahun sudah tampak duduk-duduk di teras batu di depan Masjid Jami’ kebanggaan
warga Kampung Aur itu.
Rustam yang juga baru keluar dari masjid, bersamaku ikut bergabung
dengan teman-teman itu. Kain sarung yang tadi dibawa shalat diselempangkan ke
bahu.
"Don, tadi kau nyemir dapat berapa," tiba-tiba Agus Peyang bertanya kepadaku.
Dia menanyakan hasil pencarianku dengan menyemir sepatu tadi siang.
"Cuma 1200 perak. Kau berapa?" jawabku balik bertanya. Agus pun
tertawa terbahak-bahak begitu tahu kalau aku mendapatkan hasil yang lebih
sedikit darinya.
"Hahaha... Bodohlah kau. Aku saja dapat 4000," sebutnya bangga.
"Ya pantaslah, orang dari pagi kau nyemirnya," sela ku.
Menyemir sepatu adalah pekerjaan harian kami usai pulang sekolah. Rata-tata
teman-teman sebaya menyemir sepatu untuk mencari uang tambahan jajan sekolah.
Meski pun kami masih dibawah umur, namun orangtua kami mendukung profesi itu.
Orangtua kami menganggap mencari uang sejak kecil akan mendidik kami agar lebih pintar mencari uang jika sudah dewasa. Sedikit banyaknya kami juga telah membantu meringankan beban ekonomi keluarga. Kami inilah tulang punggung keluarga, dan sekolah adalah nomor dua, pada masa itu.
Tidak hanya menyemir sepatu, kami yang masih duduk dibangku sekolah dasar di
Jalan Mangkubumi, tak jauh dari tempat tinggal kami, juga menjual koran. Menjual
koran cukup di persimpangan lampu merah, tetapi menyemir sepatu harus dilakukan
dengan mencari pelanggan dari toko ke toko, kantor ke kantor atau pun dari
rumah makan ke rumah makan. Semua tempat kami telusuri, hingga berakhir di
kawasan China Town. Tujuannya hanya menjual jasa membersihkan sepatu orang
dewasa.
Siang tadi aku memang bertemu dengan Agus. Kami sama-sama menyemir sepatu di
Jalan Selatpanjang. Di tempat itu, merupakan salah satu kawasan kuliner etnis
Tionghoa. Selain di Jalan Selatpanjang, ada juga di Jalan Surabaya dan Jalan
Semarang, kawasan kuliner non halal yang terkenal di Kota Medan. Jika menjelang
malam, kawasan ini selalu ramai pengunjung, rata-rata mereka orang Tionghoa,
meskipun sesekali dikunjungi pembeli dari orang pribumi. Pengunjungnya selalu
ramai dan kami selalu mencari rezeki di tempat itu.
"Yok, main Cabur, Yok," ajak Rustam tiba-tiba memutus pembicaraan kami.
"Ayooook....!!?" jawab kami serempak. Bermain bersama kawan-kawan di
malam hari, sudah menjadi rutinitas yang kami lakukan setelah seharian
bersekolah dan mencari uang.
"Tapi kita baru tujuh. Cari tiga orang lagi lah, biar pas lima lawan lima," pintaku.
"Ya sudah, kita tunggu saja Si Dian. Dia pasti keluar. Nah itu Si Idus dan
Si Raju, ajak saja mereka," tukas Iwin.
Setelah Dian muncul, kawan-kawan segera menyuruhnya bergegas. Maklumlah, Dian
memang tampilannya sangat santai diantara kawan-kawan sebaya. Buktinya saja,
walau pun sudah disuruh bergegas, dia tetap saja berjalan santai.
"Cepatlaaah...!!!" seru Tito setengah berteriak yang mulai tampak
tidak sabar. Dian pun berlari-lari kecil menghampiri kami yang sudah berkumpul.
Lengkap sudah. Lalu dengan sepuluh orang kami memulai permainan. Pertama, kami
harus membagi menjadi dua kelompok. Lima lawan lima.
Untuk membentuk dua kelompok yang akan menjadi lawan bermain, terlebih dahulu harus
dilakukan pengundian, yakni dengan cara 'Uang', dimana telapak tangan kanan
saling menimpa punggung tangan lainnya. Begitu disebut ‘Uang’, tangan diangkat
keatas dan diayunkan, masing-masing harus mengambil keputusan, apakah membuka telapak
tangan bagian dalam, atau tetap menutupnya dengan posisi punggung tangan tetap
diatas.
Dua tim sudah terbentuk. Tampaknya tim yang membalikkan telapak tangan orangnya
kuat-kuat dan sangat jago bermain Cabur. Mereka adalah Agus Peyang, Ison
Thamrin, Iwin Doyok, Majid dan Rustam. Sedangkan aku bersama dengan Tim Tito, Alim,
Dian dan Raju.
"Wah...!? Locak-locak ajalah kita kalau gini," kata Raju ciut.
"Ayok Suit. Siapa yang duluan main," ucapku yang bertindak sebagai
Kapten. Ternyata kami kalah dalam Suit dan harus menjadi penjaga rumah untuk
mencegah pemain lawan masuk dan membebaskan teman-teman mereka yang tertangkap.
Permainan pun segera dimulai. Di halaman masjid yang selebar lapangan
bulutangkis ini, aku dan tim terlebih dahulu membuat garis-garis pembatas. Ada
tiga lapis penjagaan. Lapis pertama dijaga satu orang, lapis kedua dijaga dua
orang, lapis ketiga dijaga satu orang sedangkan satu lagi menjaga kandang.
Jarak setiap lapis sekitar tiga meter.
Kandang dijaga agar pemain lawan yang tertangkap jangan sampai kena dibebaskan oleh
temannya. Jika semua pemain lawan tertangkap, maka terjadilah pergantian
pemain. Namun jika semua pemain lawan berhasil dibebaskan, maka permainan
diulang. Hukuman bagi pemain penjaga harus dilakukan, yakni harus menggendong
pemain lawan keliling lapangan dua kali, kami biasa menyebutnya ‘Locak’.
Diluar garis pembatas, Agus Peyang siap-siap menerobos garis lapis pertama yang
dijaga aku sendiri. Aku harus berusaha menangkapnya dan tidak boleh lepas.
Apabila lepas, maka dia akan berhadapan dengan Tito dan Dian, yang berada dilapis
kedua, begitu juga dengan lapis ketiga yang dijaga Alim. Sedangkan Raju
bertanggungjawab menjaga kandang agar jika Agus tertangkap, jangan sampai ada
yang membebaskannya.
"Ayo tangkap aku," kata Agus Peyang sambil berlari-lari ke samping
kiri dan ke samping kanan bermaksud mengecoh. Aku pun mengikuti gerakkannya dan
tetap awas jika setiap waktu dia mencoba menerobos barisanku.
Tiba-tiba dia bergerak menerobos masuk, aku pun dengan refleks mencoba menangkapnya.
Namun Agus yang mengandalkan tubuh besar dan licin karena berkeringat berusaha
meloloskan diri. Dia berhasil melewati aku. Aku terpelanting ke tanah karena
tidak kuat menahan tubuhnya yang besar.
Dengan lolosnya Agus Peyang dari penjagaanku, secara bersamaan
giliran rekan-rekannya mulai mencoba melewati aku. Sedangkan Agus Peyang juga
berhasil melewati dua orang penjaga lainnya dengan mudah dan akhirnya dia
berhasil menaklukkan kami semua.
Malam itu sangat sulit bagi kami untuk menangkap semua pemain lawan. Hanya tiga
pemain yang berhasil ditangkap, namun mereka berhasil lepas kembali setelah dibebaskan
pemain lainnya dengan cara menepuk tapak tangan kawannya. Kami pun terus menjadi
locak.
Bermain Cabur memang sangat melelahkan, namun bagi anak-anak seusia kami,
permainan itu sangat menyenangkan. Kami sanggup bermain hingga tengah malam
atau pun sampai kami harus dibubar paksa oleh orang dewasa.
"Sudah, Bubar kalian...,!" teriak Bang Karna tiba-tiba dengan ciri
khasnya yang bersuara besar, yang membuat takut anak-anak padanya.
Biasanya usai kami bermain-main, giliran abang-abang dewasa itu
yang menguasai halaman selebar lapangan bulutangkis itu. Mereka bermain gitar
dan bernyanyi hingga subuh hari. Suasana dan kehidupan di Kampung Aur memang tidak
pernah mati selama 24 jam. (dp)
No comments:
Post a Comment