Friday, March 29, 2013

"Cabur"

Donny Philli 

SEBENTAR lagi jam 8 malam. Aku baru saja keluar dari masjid, usai melaksanakan shalat Isya berjamaah. Anak-anak sebayaku yang berumur 9-10 tahun sudah tampak duduk-duduk di teras batu di depan Masjid Jami’ kebanggaan warga Kampung Aur itu.

Rustam yang juga baru keluar dari masjid, bersamaku ikut bergabung dengan teman-teman itu. Kain sarung yang tadi dibawa shalat diselempangkan ke bahu.

"Don, tadi kau nyemir dapat berapa," tiba-tiba Agus Peyang bertanya kepadaku. Dia menanyakan hasil pencarianku dengan menyemir sepatu tadi siang.

"Cuma 1200 perak. Kau berapa?" jawabku balik bertanya. Agus pun tertawa terbahak-bahak begitu tahu kalau aku mendapatkan hasil yang lebih sedikit darinya.

"Hahaha... Bodohlah kau. Aku saja dapat 4000," sebutnya bangga.

"Ya pantaslah, orang dari pagi kau nyemirnya," sela ku.

Menyemir sepatu adalah pekerjaan harian kami usai pulang sekolah. Rata-tata teman-teman sebaya menyemir sepatu untuk mencari uang tambahan jajan sekolah. Meski pun kami masih dibawah umur, namun orangtua kami mendukung profesi itu.

Orangtua kami menganggap mencari uang sejak kecil akan mendidik kami agar lebih pintar mencari uang jika sudah dewasa. Sedikit banyaknya kami juga telah membantu meringankan beban ekonomi keluarga. Kami inilah tulang punggung keluarga, dan sekolah adalah nomor dua, pada masa itu.


Tidak hanya menyemir sepatu, kami yang masih duduk dibangku sekolah dasar di Jalan Mangkubumi, tak jauh dari tempat tinggal kami, juga menjual koran. Menjual koran cukup di persimpangan lampu merah, tetapi menyemir sepatu harus dilakukan dengan mencari pelanggan dari toko ke toko, kantor ke kantor atau pun dari rumah makan ke rumah makan. Semua tempat kami telusuri, hingga berakhir di kawasan China Town. Tujuannya hanya menjual jasa membersihkan sepatu orang dewasa.

Siang tadi aku memang bertemu dengan Agus. Kami sama-sama menyemir sepatu di Jalan Selatpanjang. Di tempat itu, merupakan salah satu kawasan kuliner etnis Tionghoa. Selain di Jalan Selatpanjang, ada juga di Jalan Surabaya dan Jalan Semarang, kawasan kuliner non halal yang terkenal di Kota Medan. Jika menjelang malam, kawasan ini selalu ramai pengunjung, rata-rata mereka orang Tionghoa, meskipun sesekali dikunjungi pembeli dari orang pribumi. Pengunjungnya selalu ramai dan kami selalu mencari rezeki di tempat itu.

"Yok, main Cabur, Yok," ajak Rustam tiba-tiba memutus pembicaraan kami.

"Ayooook....!!?" jawab kami serempak. Bermain bersama kawan-kawan di malam hari, sudah menjadi rutinitas yang kami lakukan setelah seharian bersekolah dan mencari uang.

"Tapi kita baru tujuh. Cari tiga orang lagi lah, biar pas lima lawan lima," pintaku.

"Ya sudah, kita tunggu saja Si Dian. Dia pasti keluar. Nah itu Si Idus dan Si Raju, ajak saja mereka," tukas Iwin.

Setelah Dian muncul, kawan-kawan segera menyuruhnya bergegas. Maklumlah, Dian memang tampilannya sangat santai diantara kawan-kawan sebaya. Buktinya saja, walau pun sudah disuruh bergegas, dia tetap saja berjalan santai.

"Cepatlaaah...!!!" seru Tito setengah berteriak yang mulai tampak tidak sabar. Dian pun berlari-lari kecil menghampiri kami yang sudah berkumpul.

Lengkap sudah. Lalu dengan sepuluh orang kami memulai permainan. Pertama, kami harus membagi menjadi dua kelompok. Lima lawan lima.

Untuk membentuk dua kelompok yang akan menjadi lawan bermain, terlebih dahulu harus dilakukan pengundian, yakni dengan cara 'Uang', dimana telapak tangan kanan saling menimpa punggung tangan lainnya. Begitu disebut ‘Uang’, tangan diangkat keatas dan diayunkan, masing-masing harus mengambil keputusan, apakah membuka telapak tangan bagian dalam, atau tetap menutupnya dengan posisi punggung tangan tetap diatas.

Dua tim sudah terbentuk. Tampaknya tim yang membalikkan telapak tangan orangnya kuat-kuat dan sangat jago bermain Cabur. Mereka adalah Agus Peyang, Ison Thamrin, Iwin Doyok, Majid dan Rustam. Sedangkan aku bersama dengan Tim Tito, Alim, Dian dan Raju.

"Wah...!? Locak-locak ajalah kita kalau gini," kata Raju ciut.

"Ayok Suit. Siapa yang duluan main," ucapku yang bertindak sebagai Kapten. Ternyata kami kalah dalam Suit dan harus menjadi penjaga rumah untuk mencegah pemain lawan masuk dan membebaskan teman-teman mereka yang tertangkap.

Permainan pun segera dimulai. Di halaman masjid yang selebar lapangan bulutangkis ini, aku dan tim terlebih dahulu membuat garis-garis pembatas. Ada tiga lapis penjagaan. Lapis pertama dijaga satu orang, lapis kedua dijaga dua orang, lapis ketiga dijaga satu orang sedangkan satu lagi menjaga kandang. Jarak setiap lapis sekitar tiga meter.

Kandang dijaga agar pemain lawan yang tertangkap jangan sampai kena dibebaskan oleh temannya. Jika semua pemain lawan tertangkap, maka terjadilah pergantian pemain. Namun jika semua pemain lawan berhasil dibebaskan, maka permainan diulang. Hukuman bagi pemain penjaga harus dilakukan, yakni harus menggendong pemain lawan keliling lapangan dua kali, kami biasa menyebutnya ‘Locak’.

Diluar garis pembatas, Agus Peyang siap-siap menerobos garis lapis pertama yang dijaga aku sendiri. Aku harus berusaha menangkapnya dan tidak boleh lepas. Apabila lepas, maka dia akan berhadapan dengan Tito dan Dian, yang berada dilapis kedua, begitu juga dengan lapis ketiga yang dijaga Alim. Sedangkan Raju bertanggungjawab menjaga kandang agar jika Agus tertangkap, jangan sampai ada yang membebaskannya.

"Ayo tangkap aku," kata Agus Peyang sambil berlari-lari ke samping kiri dan ke samping kanan bermaksud mengecoh. Aku pun mengikuti gerakkannya dan tetap awas jika setiap waktu dia mencoba menerobos barisanku.

Tiba-tiba dia bergerak menerobos masuk, aku pun dengan refleks mencoba menangkapnya. Namun Agus yang mengandalkan tubuh besar dan licin karena berkeringat berusaha meloloskan diri. Dia berhasil melewati aku. Aku terpelanting ke tanah karena tidak kuat menahan tubuhnya yang besar.

Dengan lolosnya Agus Peyang dari penjagaanku, secara bersamaan giliran rekan-rekannya mulai mencoba melewati aku. Sedangkan Agus Peyang juga berhasil melewati dua orang penjaga lainnya dengan mudah dan akhirnya dia berhasil menaklukkan kami semua.

Malam itu sangat sulit bagi kami untuk menangkap semua pemain lawan. Hanya tiga pemain yang berhasil ditangkap, namun mereka berhasil lepas kembali setelah dibebaskan pemain lainnya dengan cara menepuk tapak tangan kawannya. Kami pun terus menjadi locak.

Bermain Cabur memang sangat melelahkan, namun bagi anak-anak seusia kami, permainan itu sangat menyenangkan. Kami sanggup bermain hingga tengah malam atau pun sampai kami harus dibubar paksa oleh orang dewasa.

"Sudah, Bubar kalian...,!" teriak Bang Karna tiba-tiba dengan ciri khasnya yang bersuara besar, yang membuat takut anak-anak padanya.

Biasanya usai kami bermain-main, giliran abang-abang dewasa itu yang menguasai halaman selebar lapangan bulutangkis itu. Mereka bermain gitar dan bernyanyi hingga subuh hari. Suasana dan kehidupan di Kampung Aur memang tidak pernah mati selama 24 jam. (dp)

No comments:

Post a Comment