Friday, March 29, 2013

"Menerkam Angin"


Donny Philli


TITO berlari tunggang langgang dengan cepat. Seluruh badannya penuh dengan keringat yang mengucur deras dari lubang pori-porinya. Mimik wajahnya menggambarkan ketakutan, dia seperti dikejar hantu. Sambil berlari, sesekali dia menoleh ke belakang, dan berusaha mengelak ketika hendak ditangkap. Tubuhnya meliuk-liuk dan kakinya melego kekiri dan kekanan.

“Ayo tangkap aku, kalau bisa,” serunya dengan nada mengejek, ketika Dian terus mengejarnya dari belakang. Tito tidak menyerah, dia terus berlari memasuki gang-gang sempit. Orang-orang yang sedang berlalu lalang pun terlihat heran. Ada juga yang marah dan mengucapkan kata-kata makian. Tetapi kedua bocah ini tidak memperdulikan omelan mamak-mamak yang marah tersebut.

Dian tidak bernafsu menangkapnya, dia terus mengikuti Tito yang terus berlari menyelamatkan diri. Dian hanya membayang-bayangi pergerakan Tito dari belakang. Tampaknya Dian memainkan sebuah taktik pengejaran yang tak biasa dilakukan oleh teman-teman yang lain.

“Kemana kau lari, hah!” kata Dian yang terus menguntit Tito dengan jarak setengah meter dari Dian. Sebenarnya Dian bisa saja menangkap Tito yang terlihat sudah kelelahan, karena dari tadi dikejar Dian. Bocah berbadan kurus ini pun menjadi heran, kenapa Dian terus mengejarnya tanpa berusaha menangkapnya.

Rupanya, Dian memanfaatkan kekuatan fisiknya. Dian ingin menguji Tito, sejauh mana dia mampu berlari. Padahal, kedua bocah ini sudah berlari sekitar 10 menit. Dari halaman Masjid Jami’ Kampung Aur, hingga ke Jalan Mantri dengan jarak kurang lebih 1 kilometer. Mereka berlari dari gang-gang sempit yang banyak dijumpai di Kampung Aur, hingga ke jalan raya antara Jalan Brigjend Katamso hingga ke Jalan Letjend Soeprapto.

Ternyata taktik Dian berhasil, sebelum turun ke anak tangga Kampung Aur yang berjumlah 24 anak tangga itu, Tito sudah kelelahan, dia pun menyerah. Dian dengan mudah akhirnya berhasil menangkapnya. Tetapi kedua bocah ini sudah ngos-ngosan, karena dari tadi berlari tanpa henti.

Dengan kelelahan Dian menggiring Tito menuruni satu persatu anak tangga yang terletak di samping jembatan HVA Jalan Letjend Soeprapto, Kampung Aur. Keduanya pun tertawa terputus-putus karena berusaha mengatur pernapasan kembali normal.

“Aduh, capek kali. Lontong kau ya. Pantas tak mau kau tangkap langsung, rupanya kau bawa raon dulu ya, Heh…!” ucap Tito sambil menghela napasnya. Keringat pun terus bercucuran di tubuh kedua bocah yang hanya mengenakan celana pendek. Dian menggiring Tito menuju ke halaman Masjid Jami’ Kampung Aur, teman-teman yang lain sudah terlebih dahulu berada dan duduk di teras masjid itu.

“Lontong si Dian nih, capek aku dibuatnya,” seru Tito kepada teman-teman yang duduk di teras masjid, sambil menghempaskan pantatnya di lantai teras itu dan tergeletak sambil menghela napas panjang.

“Hahahahaha… Makanya jangan sok kuat,” jawab Dian yang ikut juga duduk disamping Tito, juga sambil menghela napas.

“Kami pikir kau mau bebaskan kami, tak tahunya tertangkap juga. Padahal sudah siap-siap kami tadi kalau kau sambar,” ucap Rustam kepada Tito.

“Ya, tadinya aku mau bebaskan kalian. Tapi tahulah, tak bisa aku lolos dari kejaran si Dian ini,” jawab Tito.

“Tapi, ngapain pula kau lari sampai ke pasar sana. Sini-sini saja, kan bisa,” tanya Rustam kembali.

“Gak bisa, digirinya aku tadi ke pasar. Apalagi kalau lewat di tempat Kak Sam, kena marah kami. Sudah mau ditokok tadi kepala aku,” sebut Tito.

“Ya sudah. Kita tunggu saja si Doni. Dia lagi dikejar si Agus. Untung-untung, dia bisa menyambar kita,” pungkas Rustam yakin. Mendengar ucapan Rustam, Dian kembali berdiri dan bersiap-siap menyambut kedatangan Doni yang lagi dikejar Agus. Bersama Dian, ada Raju, Majid dan Rudi Kenon. Mereka menjaga tawanan yang berhasil mereka tangkap dan dikumpulkan di tiang sepak takraw yang tertanam di depan teras masjid.

Pemain yang tersisa hanyalah Doni. Tidak diketahui dimana Agus mengejar Doni. Teman-teman yang tertangkap sangat berharap, Doni bisa membebaskan mereka. Ini sudah yang kedua kali mereka berhasil memenangkan permainan Sambar Lang ini.

Main Sambar Lang, sama seperti main Cabur. Bedanya, main Sambar Lang bebas berlari dan dikejar kemana saja. Tergantung kesanggupan pemain yang lari dikejar pemain lawan. Permainan ini sedikit kasar dan keras. Tak jarang, ada pemain yang terluka, karena pada saat ditangkap banyak pemain yang terjatuh. Jika terjatuh pasti ada yang terluka dan mengeluarkan darah.

Permainan Sambar Lang ini kebanyakan dimainkan oleh anak-anak diatas umur 10 tahun. Dibutuhkan tenaga dan napas yang kuat untuk ikut dalam permainan ini. Sebelum permainan ini dimulai, terlebih dahulu dibagi dua kelompok. Kemudian dilakukan pengundian dengan cara ‘suit’ untuk menentukan siapa pemain yang duluan bermain. Jika yang kalah suit, maka dia yang menjadi penjaganya, seperti yang dilakukan Dian dan kawan-kawan.

Tiba-tiba dari arah gang Tek Anyar, Doni terlihat berlari kencang. Tidak ada Agus yang tadi mengejar Doni. Melihat kedatangan Doni, Dian, Raju, Majid dan Rudi Kenon, langsung bersiap-siap menyambutnya sambil mengawasi pemain yang sudah mereka tangkap, agar tidak disambar Doni.

Ketika Doni semakin dekat, Rudi Kenon berusaha menghempang dan menangkapnya. Namun Doni tidak mau kalah, dia berusaha melego Rudi Kenon dengan berkelit kekanan, Rudi Kenon pun terkecoh. Majid pun juga tak sanggup menahan laju Doni yang semakin mendekati dan berusaha membebaskan kawan-kawannya yang tertangkap.

Sementara, Tito, Rustam, Idus dan Ison sudah mengulur-ulurkan tangan, namun kaki tidak boleh melewati garis pembatas yang dibuat, berharap dapat disambar Doni. Ketika Doni hendak menyambar teman-temannya, Dian dan Raju menghempang. Tapi Doni langsung menubruk tubuh kedua pemain penjaga itu sehingga terhempas ke belakang menimpa Rustam dan kawan-kawan. Disaat itulah Doni menyambar tangan Rustam dan lainnya sambil menjatuhkan diri. Akibatnya, tubuh semua bocah itu ikut terjerembab jatuh ke lantai tanah halaman masjid.

“Kenaa…?!!” teriak Doni. Rustam dan yang lainnya pun berusaha lari disaat tubuh mereka tertimpa oleh tubuh Dian dan Raju. Mereka berlari sambil tertawa-tawa, sedangkan Doni memilih duduk karena kecapekan.

“Sudah lah woi, capek kali aku,” ucap Doni kepada kawan-kawan, bermaksud agar permainan Sambar Lang itu dihentikan. Raju dan Dian yang terjatuh pun segera bangkit dengan tubuh yang kotor oleh tanah.

“Rusuh kali kau Don mainnya,” protes Dian kepada Doni yang hanya bisa tertawa terbahak-bahak bermaksud mengejek Dian dan kawan-kawannya yang locak.

“Alaa, kalau sudah locak pasti ada saja alasannya. Hahahahaha…,” kata Doni menyindir sambil tertawa cekikikan.

“Kok, enceng,” tanya Tito tak puas.

“Ah, kau sudah capek pun masih mau main lagi,” sindir Dian, memotong cakap Tito. Lalu ke semua pemain Sambar Lang itu pun duduk di pinggir batu teras masjid itu.

Tak lama Agus muncul dari gang Tek Anyar, dengan tertatih-tatih. Dia kemudian bergabung dengan kawan-kawan dengan wajah meringis kesakitan.

“Kenapa kau,” tanya Rustam, kepada Agus.

“Jatuh tadi pas ngejar si Doni,” jawabnya, sambil mengusap-usap lututnya yang lecet dan mengeluarkan darah.

“Dia pun larinya entah kemana saja, sampai ke bawah kolong rumah Tek Lapek lah,” pungkas Agus, mencoba menceritakan drama pengejarannya dengan Doni.

Ternyata Agus tadi terjatuh saat menangkap Doni di gang Tek Ati Loroh. Ketika itu Agus yang sudah hampir menangkap Doni, dengan cara menerkamnya, tak menyangka kalau Doni mengelak, sehingga luput dari terkaman Agus. Lantas karena kurang keseimbangan, Agus pun tak bisa mengerem lajunya dan akibatnya dia keterusan dan terjatuh ke parit kecil yang mengalir di samping rumah Tek Lok Am. Lututnya lecet dan mengeluarkan darah sedangkan celananya basah akibat kecebur ke parit.

“Mandi yuk,” ajak Agus, setelah bercerita panjang lebar yang diselingi oleh gelak tawa teman-teman lainnya.

“Gila, malam-malam gini. Lihat lah sudah jam 10 malam. Nanti sakit baru tahu rasa,” ujar Doni menyela.

“Gak apalah. Kenapa rupanya malam-malam. Apa kau mau tidur jorok-jorok gitu. Nanti kau dimarahi mamak kau,” balas Agus.

“Ya sudah. Ayo lah,” kata Doni yang akhirnya mau ikut mandi di Sungai Deli yang terletak dibelakang rumah Tek Mar Monek.

Akhirnya, para bocah ini pun pergi ke belakang rumah Tek Mar Monek, untuk membersihkan diri di sungai, melewati lorong yang gelap dan becek. Ketika sampai dibibir tepian sungai yang terbuat dari papan dan batang kayu, para bocah ini langsung menceburkan diri di sungai yang dingin dan dangkal.

Mereka asyik berenang di air yang bersih, jernih dan bahkan ada yang mandi sampai ke tengah sungai yang alirannya deras, tanpa mengenal rasa takut dengan kayu pancang atau pun binatang buas seperti ular dan buaya. Di tengah malam. (dp)

No comments:

Post a Comment