Donny Philli
TITO berlari tunggang langgang dengan cepat. Seluruh badannya
penuh dengan keringat yang mengucur deras dari lubang pori-porinya. Mimik
wajahnya menggambarkan ketakutan, dia seperti dikejar hantu. Sambil berlari,
sesekali dia menoleh ke belakang, dan berusaha mengelak ketika hendak
ditangkap. Tubuhnya meliuk-liuk dan kakinya melego kekiri dan kekanan.
“Ayo tangkap aku,
kalau bisa,” serunya dengan nada mengejek, ketika Dian terus mengejarnya dari
belakang. Tito tidak menyerah, dia terus berlari memasuki gang-gang sempit.
Orang-orang yang sedang berlalu lalang pun terlihat heran. Ada juga yang marah
dan mengucapkan kata-kata makian. Tetapi kedua bocah ini tidak memperdulikan
omelan mamak-mamak yang marah tersebut.
Dian tidak bernafsu
menangkapnya, dia terus mengikuti Tito yang terus berlari menyelamatkan diri.
Dian hanya membayang-bayangi pergerakan Tito dari belakang. Tampaknya Dian
memainkan sebuah taktik pengejaran yang tak biasa dilakukan oleh teman-teman
yang lain.
“Kemana kau lari,
hah!” kata Dian yang terus menguntit Tito dengan jarak setengah meter dari
Dian. Sebenarnya Dian bisa saja menangkap Tito yang terlihat sudah kelelahan,
karena dari tadi dikejar Dian. Bocah berbadan kurus ini pun menjadi heran,
kenapa Dian terus mengejarnya tanpa berusaha menangkapnya.
Rupanya, Dian
memanfaatkan kekuatan fisiknya. Dian ingin menguji Tito, sejauh mana dia mampu
berlari. Padahal, kedua bocah ini sudah berlari sekitar 10 menit. Dari halaman
Masjid Jami’ Kampung Aur, hingga ke Jalan Mantri dengan jarak kurang lebih 1
kilometer. Mereka berlari dari gang-gang sempit yang banyak dijumpai di Kampung
Aur, hingga ke jalan raya antara Jalan Brigjend Katamso hingga ke Jalan Letjend
Soeprapto.
Ternyata taktik
Dian berhasil, sebelum turun ke anak tangga Kampung Aur yang berjumlah 24 anak
tangga itu, Tito sudah kelelahan, dia pun menyerah. Dian dengan mudah akhirnya
berhasil menangkapnya. Tetapi kedua bocah ini sudah ngos-ngosan, karena dari
tadi berlari tanpa henti.
Dengan kelelahan
Dian menggiring Tito menuruni satu persatu anak tangga yang terletak di samping
jembatan HVA Jalan Letjend Soeprapto, Kampung Aur. Keduanya pun tertawa
terputus-putus karena berusaha mengatur pernapasan kembali normal.
“Aduh, capek kali.
Lontong kau ya. Pantas tak mau kau tangkap langsung, rupanya kau bawa raon dulu
ya, Heh…!” ucap Tito sambil menghela napasnya. Keringat pun terus bercucuran di
tubuh kedua bocah yang hanya mengenakan celana pendek. Dian menggiring Tito
menuju ke halaman Masjid Jami’ Kampung Aur, teman-teman yang lain sudah terlebih
dahulu berada dan duduk di teras masjid itu.
“Lontong si Dian
nih, capek aku dibuatnya,” seru Tito kepada teman-teman yang duduk di teras
masjid, sambil menghempaskan pantatnya di lantai teras itu dan tergeletak
sambil menghela napas panjang.
“Hahahahaha…
Makanya jangan sok kuat,” jawab Dian yang ikut juga duduk disamping Tito, juga
sambil menghela napas.
“Kami pikir kau mau
bebaskan kami, tak tahunya tertangkap juga. Padahal sudah siap-siap kami tadi
kalau kau sambar,” ucap Rustam kepada Tito.
“Ya, tadinya aku
mau bebaskan kalian. Tapi tahulah, tak bisa aku lolos dari kejaran si Dian
ini,” jawab Tito.
“Tapi, ngapain pula
kau lari sampai ke pasar sana. Sini-sini saja, kan bisa,” tanya Rustam kembali.
“Gak bisa,
digirinya aku tadi ke pasar. Apalagi kalau lewat di tempat Kak Sam, kena marah
kami. Sudah mau ditokok tadi kepala aku,” sebut Tito.
“Ya sudah. Kita
tunggu saja si Doni. Dia lagi dikejar si Agus. Untung-untung, dia bisa
menyambar kita,” pungkas Rustam yakin. Mendengar ucapan Rustam, Dian kembali
berdiri dan bersiap-siap menyambut kedatangan Doni yang lagi dikejar Agus.
Bersama Dian, ada Raju, Majid dan Rudi Kenon. Mereka menjaga tawanan yang
berhasil mereka tangkap dan dikumpulkan di tiang sepak takraw yang tertanam di
depan teras masjid.
Pemain yang tersisa
hanyalah Doni. Tidak diketahui dimana Agus mengejar Doni. Teman-teman yang
tertangkap sangat berharap, Doni bisa membebaskan mereka. Ini sudah yang kedua
kali mereka berhasil memenangkan permainan Sambar Lang ini.
Main Sambar Lang,
sama seperti main Cabur. Bedanya, main Sambar Lang bebas berlari dan dikejar
kemana saja. Tergantung kesanggupan pemain yang lari dikejar pemain lawan.
Permainan ini sedikit kasar dan keras. Tak jarang, ada pemain yang terluka,
karena pada saat ditangkap banyak pemain yang terjatuh. Jika terjatuh pasti ada
yang terluka dan mengeluarkan darah.
Permainan Sambar
Lang ini kebanyakan dimainkan oleh anak-anak diatas umur 10 tahun. Dibutuhkan
tenaga dan napas yang kuat untuk ikut dalam permainan ini. Sebelum permainan
ini dimulai, terlebih dahulu dibagi dua kelompok. Kemudian dilakukan pengundian
dengan cara ‘suit’ untuk menentukan siapa pemain yang duluan bermain. Jika yang
kalah suit, maka dia yang menjadi penjaganya, seperti yang dilakukan Dian dan
kawan-kawan.
Tiba-tiba dari arah
gang Tek Anyar, Doni terlihat berlari kencang. Tidak ada Agus yang tadi
mengejar Doni. Melihat kedatangan Doni, Dian, Raju, Majid dan Rudi Kenon,
langsung bersiap-siap menyambutnya sambil mengawasi pemain yang sudah mereka
tangkap, agar tidak disambar Doni.
Ketika Doni semakin
dekat, Rudi Kenon berusaha menghempang dan menangkapnya. Namun Doni tidak mau
kalah, dia berusaha melego Rudi Kenon dengan berkelit kekanan, Rudi Kenon pun
terkecoh. Majid pun juga tak sanggup menahan laju Doni yang semakin mendekati
dan berusaha membebaskan kawan-kawannya yang tertangkap.
Sementara, Tito,
Rustam, Idus dan Ison sudah mengulur-ulurkan tangan, namun kaki tidak boleh
melewati garis pembatas yang dibuat, berharap dapat disambar Doni. Ketika Doni
hendak menyambar teman-temannya, Dian dan Raju menghempang. Tapi Doni langsung
menubruk tubuh kedua pemain penjaga itu sehingga terhempas ke belakang menimpa
Rustam dan kawan-kawan. Disaat itulah Doni menyambar tangan Rustam dan lainnya
sambil menjatuhkan diri. Akibatnya, tubuh semua bocah itu ikut terjerembab
jatuh ke lantai tanah halaman masjid.
“Kenaa…?!!” teriak
Doni. Rustam dan yang lainnya pun berusaha lari disaat tubuh mereka tertimpa
oleh tubuh Dian dan Raju. Mereka berlari sambil tertawa-tawa, sedangkan Doni
memilih duduk karena kecapekan.
“Sudah lah woi,
capek kali aku,” ucap Doni kepada kawan-kawan, bermaksud agar permainan Sambar
Lang itu dihentikan. Raju dan Dian yang terjatuh pun segera bangkit dengan
tubuh yang kotor oleh tanah.
“Rusuh kali kau Don
mainnya,” protes Dian kepada Doni yang hanya bisa tertawa terbahak-bahak
bermaksud mengejek Dian dan kawan-kawannya yang locak.
“Alaa, kalau sudah
locak pasti ada saja alasannya. Hahahahaha…,” kata Doni menyindir sambil
tertawa cekikikan.
“Kok, enceng,”
tanya Tito tak puas.
“Ah, kau sudah
capek pun masih mau main lagi,” sindir Dian, memotong cakap Tito. Lalu ke semua
pemain Sambar Lang itu pun duduk di pinggir batu teras masjid itu.
Tak lama Agus
muncul dari gang Tek Anyar, dengan tertatih-tatih. Dia kemudian bergabung
dengan kawan-kawan dengan wajah meringis kesakitan.
“Kenapa kau,” tanya
Rustam, kepada Agus.
“Jatuh tadi pas
ngejar si Doni,” jawabnya, sambil mengusap-usap lututnya yang lecet dan
mengeluarkan darah.
“Dia pun larinya
entah kemana saja, sampai ke bawah kolong rumah Tek Lapek lah,” pungkas Agus,
mencoba menceritakan drama pengejarannya dengan Doni.
Ternyata Agus tadi
terjatuh saat menangkap Doni di gang Tek Ati Loroh. Ketika itu Agus yang sudah
hampir menangkap Doni, dengan cara menerkamnya, tak menyangka kalau Doni
mengelak, sehingga luput dari terkaman Agus. Lantas karena kurang keseimbangan,
Agus pun tak bisa mengerem lajunya dan akibatnya dia keterusan dan terjatuh ke
parit kecil yang mengalir di samping rumah Tek Lok Am. Lututnya lecet dan
mengeluarkan darah sedangkan celananya basah akibat kecebur ke parit.
“Mandi yuk,” ajak
Agus, setelah bercerita panjang lebar yang diselingi oleh gelak tawa
teman-teman lainnya.
“Gila, malam-malam
gini. Lihat lah sudah jam 10 malam. Nanti sakit baru tahu rasa,” ujar Doni
menyela.
“Gak apalah. Kenapa
rupanya malam-malam. Apa kau mau tidur jorok-jorok gitu. Nanti kau dimarahi
mamak kau,” balas Agus.
“Ya sudah. Ayo
lah,” kata Doni yang akhirnya mau ikut mandi di Sungai Deli yang terletak
dibelakang rumah Tek Mar Monek.
Akhirnya, para
bocah ini pun pergi ke belakang rumah Tek Mar Monek, untuk membersihkan diri di
sungai, melewati lorong yang gelap dan becek. Ketika sampai dibibir tepian
sungai yang terbuat dari papan dan batang kayu, para bocah ini langsung
menceburkan diri di sungai yang dingin dan dangkal.
Mereka asyik
berenang di air yang bersih, jernih dan bahkan ada yang mandi sampai ke tengah
sungai yang alirannya deras, tanpa mengenal rasa takut dengan kayu pancang atau
pun binatang buas seperti ular dan buaya. Di tengah malam. (dp)
No comments:
Post a Comment