Wednesday, April 3, 2013

Macam-Macam Permainan Tradisional

PERMAINAN anak-anak dahulu sangatlah beragam, dari yang klasik hingga yang mengeluarkan keringat luar biasa. Namun sekarang seolah-olah permainan itu telah dikubur dalam-dalam pada ingatan orang tua. Ada rasa enggan atau apalah yang sering terbesit ketika membeli mainan baru kepada anak-anak.

Kita rindu akan munculnya permainan anak-anak yang bernuansa tradisional. Karena disetiap permainan pasti mengandung nilai etika yang disisipkan dalam permainan itu. Ada juga yang mengedepankan sportif dan sifat berlomba-lomba. Mari kita lihat, apa-apa saja jenis per mainan anak-anak Indonesia.


1. Aci sorok, sorok-sorok, sembunyi-sembunyi, mancis, petak umpet, main kodok.
2. main atu panggang (gayo) dan atu anak (lonok)
3. main Kansas (disepak atau dipukul dengan sandal).
4. main tiin (batok kelapa atau batu bata)
5. Congkak, Jongkok, Congklak (Indonesia).
6. GasingPangkah, Gasing Uri, Gasing Pinang.
7. main patok lele (batang rumbia)
8.  main sampan (dari pelepah rumbia)
9. Sepak raga, timang bola, bola raga.
10. Wau, Layang-layang, Layangan.
11. main karet, (wanita > melompat . laki-laki menembak)
12. main kucing-kucingan
13. main mobil-mobilan terbuat dari papan atau bamboo.
14. main hompimpah (hompimpah alaiung gambreng…)
15. main klereng, guli.
16. Main getah, lompat getah, lompat tali.
17. main samarlang/sambar lang
18. Wan tu som, One Two Zoom, Batu-Gunting-Kertas.
19. pok pok pisang.
20. ular naga.
21. cak kucir lewe-lewe.
22. Kabadi, hadudu, bengal.
23. Kercang, kercang panah, kercang kawin.
24. Yoyo cina,che ling, xiang huang.
25. Selotop, pistol buluh, selontop Letop (gayo).
26. main serimbang, serimang.
27. main cina buta.
28. main kuda lumping.
29. main laga ayam (dari rumput)
30. rumah-rumahan, jual-jualan.

Bagaimana sahabat semua, banyakkan macam-macam permainan anak-anak indonesia. nah, bagi sahabat yang ingin menambahkan, bisa kok. ditambahkan di kolom komentar ya sahabat. (sbr)

Friday, March 29, 2013

"Menerkam Angin"


Donny Philli


TITO berlari tunggang langgang dengan cepat. Seluruh badannya penuh dengan keringat yang mengucur deras dari lubang pori-porinya. Mimik wajahnya menggambarkan ketakutan, dia seperti dikejar hantu. Sambil berlari, sesekali dia menoleh ke belakang, dan berusaha mengelak ketika hendak ditangkap. Tubuhnya meliuk-liuk dan kakinya melego kekiri dan kekanan.

“Ayo tangkap aku, kalau bisa,” serunya dengan nada mengejek, ketika Dian terus mengejarnya dari belakang. Tito tidak menyerah, dia terus berlari memasuki gang-gang sempit. Orang-orang yang sedang berlalu lalang pun terlihat heran. Ada juga yang marah dan mengucapkan kata-kata makian. Tetapi kedua bocah ini tidak memperdulikan omelan mamak-mamak yang marah tersebut.

Dian tidak bernafsu menangkapnya, dia terus mengikuti Tito yang terus berlari menyelamatkan diri. Dian hanya membayang-bayangi pergerakan Tito dari belakang. Tampaknya Dian memainkan sebuah taktik pengejaran yang tak biasa dilakukan oleh teman-teman yang lain.

“Kemana kau lari, hah!” kata Dian yang terus menguntit Tito dengan jarak setengah meter dari Dian. Sebenarnya Dian bisa saja menangkap Tito yang terlihat sudah kelelahan, karena dari tadi dikejar Dian. Bocah berbadan kurus ini pun menjadi heran, kenapa Dian terus mengejarnya tanpa berusaha menangkapnya.

Rupanya, Dian memanfaatkan kekuatan fisiknya. Dian ingin menguji Tito, sejauh mana dia mampu berlari. Padahal, kedua bocah ini sudah berlari sekitar 10 menit. Dari halaman Masjid Jami’ Kampung Aur, hingga ke Jalan Mantri dengan jarak kurang lebih 1 kilometer. Mereka berlari dari gang-gang sempit yang banyak dijumpai di Kampung Aur, hingga ke jalan raya antara Jalan Brigjend Katamso hingga ke Jalan Letjend Soeprapto.

"Ampas Jeruk Sepatu Kilat"


Donny Philli

SEKOLAHKU, Sekolah Dasar Negeri 060902 yang terletak di Jalan Mangkubumi Medan, mendapat giliran acara nonton bareng film perjuangan berjudul "Detik-detik Proklamasi" di Bioskop Olympia Plaza, di tahun 1987, saat itu aku masih duduk dibangku kelas IV.

Kebijakan sekolah masa itu, mewajibkan setiap murid untuk ikut menonton dan membeli tiket seharga Rp 500, kepada wali kelas. Jika tidak, maka kami dianggap alpa, dikenai denda Rp 50, dan sanksi pengurangan nilai. Harga karcis itu tak sebanding dengan uang jajan yang kuperoleh setiap hari sebesar Rp 100 dari orangtuaku.

“Ayoo..!! Siapa lagi yang mau beli karcis,” seru Pak Girsang, wali kelasku, kepada murid-muridnya yang belum membeli karcis. Satu persatu, murid-murid di kelas IV membeli karcis. Kawan-kawanku tampak gembira setelah menerima secarik karcis nonton yang tertulis judul film yang akan kami tonton.

Besok penayangan film "Detik-detik Proklamasi" akan diputar, namun aku belum juga membeli karcis. Padahal ancaman alpa, denda dan pengurangan nilai adalah nyata, karena pernah terjadi sebelumnya. Pak Girsang pun tak lupa mengeluarkan ancaman kepada kami yang belum membeli karcis.

Disamping ketakutan dengan ancaman Pak Girsang, aku pun tak mau menanggung malu sama teman-teman gara-gara tak ikut menonton. Lantas, aku tak kehilangan akal, dan terpaksa mencari duit sendiri. Sebab mengharapkan orangtua adalah mustahil. Karena kedua orangtuaku sudah cukup susah payah menafkahi 5 saudaraku. Uang jajan Rp 100 perhari itu sudah merupakan jatah harian yang tak boleh lebih dan boleh kurang.

"Kena Bengek"


Alwin Syahputra

DONI locak, dia jaga kali ini. Kami mengambil ancang-ancang menjauh dari jangkauannya melempar bola. Sebab lemparan bolanya sangat berbahaya. Selain tepat sasaran, lemparannya juga sangat kuat. Kalau terkena badan, rasanya sangat sakit sekali, pedas. Kami menyebutnya “Kena Bengek”.

Punggungku saja merah-merah bekas lemparan bola yang terbuat dari plastik seukuran bola kasti itu. Siapa yang tidak tahan menahan lemparan itu, pasti menangis. Tapi kali ini kami harus hati-hati dan lebih gesit lagi menghindari lemparan bolanya.

“Awas…! Woiii…!!,” teriak kawan-kawan agar menjauh dari jangkauan lemparan Si Doni.

Doni tampak menggenggam bola plastik itu, dia mengamati sekeliling halaman masjid yang selebar lapangan bulutangkis itu. Sesekali dia menggertak dengan berpura-pura melempar lawannya yang mendekat. Yang digertak pun berkelit-kelit menghindar.

Permainan ini kami namakan “Bola Bengek”. Main bola bengek ini sangat populer di era tahun 80an hingga 90an. Aturannya, pemain yang jaga tidak boleh bergerak selangkah pun dari posisinya melempar bola untuk mengenai lawannya. 

"Beranyut Itu Menyenangkan" (bag. 2)


Donny Philli

SETELAH melewati Lubuk Kuali yang sangat angker dan misterius itu, rombongan anak-anak yang dibesarkan di pemukiman pinggir Sungai Deli ini terus melaju mengikuti arus sungai yang deras. 

Udara yang dingin semakin menusuk tubuh ditambah dinginnya air sungai hingga membuat tubuh kami menggigil, pori-pori pun menyembul bersamaan bunyi suara gigi yang gemeretak saling beradu, membunuh keheningan siang di kawasan Kelurahan Kedai Durian, Medan Johor.

Memasuki kawasan ini, mulai terlihat tebing-tebing cadas berselimutkan dedaunan jalar serta tepian sungai yang sempit berbatu karak, membuat aliran airnya semakin deras dan bergelombang. Rasa senang bercampur cemas tergambar di wajah kami. Namun tidak seorang pun yang berani menurunkan kakinya ke air karena takut digores batu karak yang kasar dan tajam.
     
Arus air semakin deras, lebar sungai pun semakin sempit. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan tepian untuk menepi. Di tebing sebelah kiri merupakan daerah Jalan Karya Jaya, Titi Kuning dan sebelah kanan Jalan Brigjend Zein Hamid, Kedai Durian. Lalu tiba-tiba…!

"Aduuh...!" jerit Dian kesakitan. Dian terlepas dari pegangan rakit batang pisang. Kakinya berkali-kali menyentuh batu karak didalam air, tergores dan mengeluarkan darah. Dia berusaha meraih rakit batang pisang itu dan memeluknya erat-erat, tertelungkup, sejajar dengan batang pisang itu.