PERMAINAN anak-anak dahulu sangatlah beragam, dari yang klasik hingga yang mengeluarkan keringat luar biasa. Namun sekarang seolah-olah permainan itu telah dikubur dalam-dalam pada ingatan orang tua. Ada rasa enggan atau apalah yang sering terbesit ketika membeli mainan baru kepada anak-anak.
Kita rindu akan munculnya permainan anak-anak yang bernuansa tradisional. Karena disetiap permainan pasti mengandung nilai etika yang disisipkan dalam permainan itu. Ada juga yang mengedepankan sportif dan sifat berlomba-lomba. Mari kita lihat, apa-apa saja jenis per mainan anak-anak Indonesia.
1. Aci sorok, sorok-sorok, sembunyi-sembunyi, mancis, petak umpet, main kodok.
2. main atu panggang (gayo) dan atu anak (lonok)
3. main Kansas (disepak atau dipukul dengan sandal).
4. main tiin (batok kelapa atau batu bata)
5. Congkak, Jongkok, Congklak (Indonesia).
6. GasingPangkah, Gasing Uri, Gasing Pinang.
7. main patok lele (batang rumbia)
8. main sampan (dari pelepah rumbia)
9. Sepak raga, timang bola, bola raga.
10. Wau, Layang-layang, Layangan.
11. main karet, (wanita > melompat . laki-laki menembak)
12. main kucing-kucingan
13. main mobil-mobilan terbuat dari papan atau bamboo.
14. main hompimpah (hompimpah alaiung gambreng…)
15. main klereng, guli.
16. Main getah, lompat getah, lompat tali.
17. main samarlang/sambar lang
18. Wan tu som, One Two Zoom, Batu-Gunting-Kertas.
19. pok pok pisang.
20. ular naga.
21. cak kucir lewe-lewe.
22. Kabadi, hadudu, bengal.
23. Kercang, kercang panah, kercang kawin.
24. Yoyo cina,che ling, xiang huang.
25. Selotop, pistol buluh, selontop Letop (gayo).
26. main serimbang, serimang.
27. main cina buta.
28. main kuda lumping.
29. main laga ayam (dari rumput)
30. rumah-rumahan, jual-jualan.
Bagaimana sahabat semua, banyakkan macam-macam permainan anak-anak indonesia. nah, bagi sahabat yang ingin menambahkan, bisa kok. ditambahkan di kolom komentar ya sahabat. (sbr)
Wednesday, April 3, 2013
Friday, March 29, 2013
"Menerkam Angin"
Donny Philli
TITO berlari tunggang langgang dengan cepat. Seluruh badannya
penuh dengan keringat yang mengucur deras dari lubang pori-porinya. Mimik
wajahnya menggambarkan ketakutan, dia seperti dikejar hantu. Sambil berlari,
sesekali dia menoleh ke belakang, dan berusaha mengelak ketika hendak
ditangkap. Tubuhnya meliuk-liuk dan kakinya melego kekiri dan kekanan.
“Ayo tangkap aku,
kalau bisa,” serunya dengan nada mengejek, ketika Dian terus mengejarnya dari
belakang. Tito tidak menyerah, dia terus berlari memasuki gang-gang sempit.
Orang-orang yang sedang berlalu lalang pun terlihat heran. Ada juga yang marah
dan mengucapkan kata-kata makian. Tetapi kedua bocah ini tidak memperdulikan
omelan mamak-mamak yang marah tersebut.
Dian tidak bernafsu
menangkapnya, dia terus mengikuti Tito yang terus berlari menyelamatkan diri.
Dian hanya membayang-bayangi pergerakan Tito dari belakang. Tampaknya Dian
memainkan sebuah taktik pengejaran yang tak biasa dilakukan oleh teman-teman
yang lain.
“Kemana kau lari,
hah!” kata Dian yang terus menguntit Tito dengan jarak setengah meter dari
Dian. Sebenarnya Dian bisa saja menangkap Tito yang terlihat sudah kelelahan,
karena dari tadi dikejar Dian. Bocah berbadan kurus ini pun menjadi heran,
kenapa Dian terus mengejarnya tanpa berusaha menangkapnya.
Rupanya, Dian
memanfaatkan kekuatan fisiknya. Dian ingin menguji Tito, sejauh mana dia mampu
berlari. Padahal, kedua bocah ini sudah berlari sekitar 10 menit. Dari halaman
Masjid Jami’ Kampung Aur, hingga ke Jalan Mantri dengan jarak kurang lebih 1
kilometer. Mereka berlari dari gang-gang sempit yang banyak dijumpai di Kampung
Aur, hingga ke jalan raya antara Jalan Brigjend Katamso hingga ke Jalan Letjend
Soeprapto.
"Ampas Jeruk Sepatu Kilat"
Donny
Philli
SEKOLAHKU, Sekolah Dasar Negeri 060902 yang terletak di Jalan
Mangkubumi Medan, mendapat giliran acara nonton bareng film perjuangan berjudul
"Detik-detik Proklamasi" di Bioskop Olympia Plaza, di tahun 1987,
saat itu aku masih duduk dibangku kelas IV.
Kebijakan sekolah masa itu, mewajibkan setiap murid untuk ikut menonton dan membeli tiket seharga Rp 500, kepada wali kelas. Jika tidak, maka kami dianggap alpa, dikenai denda Rp 50, dan sanksi pengurangan nilai. Harga karcis itu tak sebanding dengan uang jajan yang kuperoleh setiap hari sebesar Rp 100 dari orangtuaku.
“Ayoo..!! Siapa lagi yang mau beli karcis,” seru Pak Girsang, wali
kelasku, kepada murid-muridnya yang belum membeli karcis. Satu persatu,
murid-murid di kelas IV membeli karcis. Kawan-kawanku tampak gembira setelah
menerima secarik karcis nonton yang tertulis judul film yang akan kami tonton.
Besok penayangan film "Detik-detik Proklamasi" akan diputar, namun aku belum juga membeli karcis. Padahal ancaman alpa, denda dan pengurangan nilai adalah nyata, karena pernah terjadi sebelumnya. Pak Girsang pun tak lupa mengeluarkan ancaman kepada kami yang belum membeli karcis.
Disamping ketakutan dengan ancaman Pak Girsang, aku pun tak mau menanggung malu sama teman-teman gara-gara tak ikut menonton. Lantas, aku tak kehilangan akal, dan terpaksa mencari duit sendiri. Sebab mengharapkan orangtua adalah mustahil. Karena kedua orangtuaku sudah cukup susah payah menafkahi 5 saudaraku. Uang jajan Rp 100 perhari itu sudah merupakan jatah harian yang tak boleh lebih dan boleh kurang.
"Kena Bengek"
Alwin Syahputra
DONI locak, dia jaga kali ini. Kami mengambil ancang-ancang
menjauh dari jangkauannya melempar bola. Sebab lemparan bolanya sangat
berbahaya. Selain tepat sasaran, lemparannya juga sangat kuat. Kalau terkena
badan, rasanya sangat sakit sekali, pedas. Kami menyebutnya “Kena Bengek”.
Punggungku saja
merah-merah bekas lemparan bola yang terbuat dari plastik seukuran bola kasti
itu. Siapa yang tidak tahan menahan lemparan itu, pasti menangis. Tapi kali ini
kami harus hati-hati dan lebih gesit lagi menghindari lemparan bolanya.
“Awas…! Woiii…!!,”
teriak kawan-kawan agar menjauh dari jangkauan lemparan Si Doni.
Doni tampak
menggenggam bola plastik itu, dia mengamati sekeliling halaman masjid yang
selebar lapangan bulutangkis itu. Sesekali dia menggertak dengan berpura-pura
melempar lawannya yang mendekat. Yang digertak pun berkelit-kelit menghindar.
Permainan ini kami
namakan “Bola Bengek”. Main bola bengek ini sangat populer di era tahun 80an
hingga 90an. Aturannya, pemain yang jaga tidak boleh bergerak selangkah pun
dari posisinya melempar bola untuk mengenai lawannya.
"Beranyut Itu Menyenangkan" (bag. 2)
Donny Philli
SETELAH melewati Lubuk Kuali
yang sangat angker dan misterius itu, rombongan anak-anak yang dibesarkan di
pemukiman pinggir Sungai Deli ini terus melaju mengikuti arus sungai yang
deras.
Udara yang dingin semakin menusuk tubuh ditambah dinginnya air sungai
hingga membuat tubuh kami menggigil, pori-pori pun menyembul bersamaan bunyi
suara gigi yang gemeretak saling beradu, membunuh keheningan siang di kawasan
Kelurahan Kedai Durian, Medan Johor.
Memasuki kawasan ini, mulai terlihat tebing-tebing cadas
berselimutkan dedaunan jalar serta tepian sungai yang sempit berbatu karak,
membuat aliran airnya semakin deras dan bergelombang. Rasa senang bercampur
cemas tergambar di wajah kami. Namun tidak seorang pun yang berani menurunkan
kakinya ke air karena takut digores batu karak yang kasar dan tajam.
Arus air semakin deras, lebar sungai pun semakin sempit. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan tepian untuk menepi. Di tebing sebelah kiri merupakan daerah Jalan Karya Jaya, Titi Kuning dan sebelah kanan Jalan Brigjend Zein Hamid, Kedai Durian. Lalu tiba-tiba…!
"Aduuh...!" jerit Dian kesakitan. Dian terlepas dari
pegangan rakit batang pisang. Kakinya berkali-kali menyentuh batu karak didalam
air, tergores dan mengeluarkan darah. Dia berusaha meraih rakit batang pisang
itu dan memeluknya erat-erat, tertelungkup, sejajar dengan batang pisang itu.
"Alep Berondok"
Donny Philli
GILIRAN Ipul jaga, karena Dian berhasil menangkapnya pertama
kali, berikut setelah tertangkapnya kawan-kawan yang lain. Ipul pun memulai
menghitung dari 1 sampai 10, matanya ditutup dengan kedua lengannya dan
menghadap ke dinding Masjid Jami' Kampung Aur.
"1... 2... 3... 4... 5... dan seterusnya sampai 10." Para pemain, Aku, Dian, Raju, Tito, Rustam, Majid, Ison, Iwin dan Rudy, mulai berhamburan mencari tempat persembunyian yang aman. Ada yang dibawah kolong rumah, di bawah meja jualan, hingga berondok di semak-semak pohon bambu di pinggir Sungai Deli, di malam yang gelap. Dedaunan bambu menari-nari diantara cahaya bulan, di Juni 1987.
Usai menghitung, Ipul melihat tak ada seorang pun, semuanya bersembunyi. Dengan menggunakan punggung tangan, dia mengusap matanya berkali-kali. Tatapan matanya liar, menyisir setiap sudut halaman masjid tersebut. Kepalanya terus bergerak, ke kiri dan ke kanan, mengawasi setiap pergerakan yang mencurigai.
Di balik meja jualan Tek Mar, Ipul melihat ada sosok kepala yang menyembul, samar dan tak teridentifikasi. Dengan yakin, didatanginya tempat itu sambil tubuhnya berputar-putar mengawasi setiap pergerakkan yang muncul tiba-tiba, matanya liar namun terfokus pada sosok di balik meja jualan punya Tek Mar itu.
Tiba-tiba sosok dibalik meja itu berkelebat cepat, berlari ke arah Ipul menuju dinding masjid sebagai tempat locaknya, agar dapat disentuhnya. Akan tetapi jarak Ipul lebih dekat dengan dinding masjid itu. Dan dengan refleks, Ipul pun cepat membalikkan badan, berlari menuju sarangnya.
"Bedapik"
Donny Philli
KETIKA musim banjir kampung kami pasti ikut juga terendam. Kampung Aur yang berada di tengah Kota Medan, persis terletak di pinggiran Sungai Deli. Biasanya setiap musim banjir, anak-anak Kampung Aur, kegirangan.
Waktu itu aku masih berusia 9 tahun, dengan bertelanjang
badan tanpa sehelai benang pun, bersama kawan-kawan pergi ke jembatan Jalan
Letjend Soeprapto, yang dikenal dengan sebutan jembatan HVA, adalah
satu-satunya jembatan di Kampung Aur.
Dari atas pagar besi jembatan buatan Kolonial Belanda tahun 1912 itu,
kami melakukan uji nyali. Secara bergantian, kami terjun dari pagar jembatan
itu mencebur ke dalam sungai yang airnya dalam berwarna kuning lumpur mengalir
dengan deras, disertai sampah-sampah dari batang dan ranting pepohonan yang
hanyut terbawa banjir. Brrr...! Dingin sekali.
Macam-macam gaya kami ketika terjun ke sungai yang cukup dalam
itu. Iwin, Rustam, Ison dan Tito terjun dengan gaya bebas yang biasa-biasa
saja, sedangkan Idus, Iim, Wilman mencoba dengan gaya terjun meluncur bak
Superman yang sedang terbang (kami menyebutnya lompat kepala). Yang lain, Agus
dan Dian mencari teknik sendiri dengan gaya salto. Ada yang salto dengan posisi
membelakangi sungai (salto belakang) dan salto menghadap sungai (salto depan).
Sedangkan aku meskipun bisa semuanya, lebih suka dengan gaya salto
belakang, karena saat penceburan di air selalu dengan posisi bagus. Asyik
rasanya. Pernah aku mencoba dengan gaya salto depan, namun saat mencebur posisi
tubuhku tidak bagus, aku tertelungkup. Akibatnya, yang duluan sampai
dipermukaan air adalah muka, dada dan pahaku.
"Mariam Tomboy"
Donny Philli
“OH… Mariam Tomboy Mak
Inang, Si Japang Mati…, Oh… Mariam Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati… Oh… Mariam
Tomboy Mak Inang, Si Japang Mati…” Dengan semangat, anak-anak Kampung Aur
menyanyikan lagu plesetan yang nadanya diambil dari film Naga Bonar, dibawah
Jembatan HVA Jalan Letjend Soeprapto, di pinggir Sungai Deli, Kampung Aur.
Meskipun nadanya lagu naga bonar, namun liriknya diubah-ubah. Lagu
ini selalu terdengar tatkala memasuki awal Bulan Suci Ramadhan, saat umat Islam
menjalankan ibadah puasa, dan saat aku berusia 12 tahun.
Di bawah kolong jembatan HVA, Kampung Aur itu, aku dan sejumlah
kawan-kawan dengan semangat memotong sebatang bambu, yang tumbuh tepat dibibir
Sungai Deli. Semak-semak dan timbunan sampah tak menjadi penghalang, meskipun
miang bambu sudah melekat ditubuh kami yang mulai gatal-gatal.
“Win…! Cepatlah kau potong
bambunya, lama kali pun,” desak Rustam yang sudah menggaruk-garukkan kakinya
yang gatal, kepada temanku Iwin yang sedang menebas batang bambu dengan parang,
sedangkan aku memegang batang bambu itu, sambil memejamkan mata karena telah
kemasukkan miang bambu.
“Byurr…!?” aku terjun ke
sungai bersamaan batang bambu yang sudah lepas dari akarnya untuk dibersihkan
miangnya. Kawan yang lain ikut juga menceburkan diri untuk menghilangkan
gatal-gatal dibadan yang sudah memerah.
"Beranyut Itu Menyenangkan" (bag. 1)
Donny Philli
MALAM dinihari, air Sungai Deli sedang naik, namun tidak terlalu tinggi. Halaman masjid saja masih jauh digapainya, apalagi dibibir sungai. Kali ini banjirnya hanya sekitar sungai, cukup menenggelamkan seluruh badan, berwarna kuning, deras dan banyak sampah. Menjelang subuh itu, orang-orang terjaga mengantisipasi masuknya air ke rumah.
Aku sangat senang kalau air sungainya banjir tanggung seperti ini,
begitu juga dengan kawan-kawan. Banyak yang bisa kami lakukan dengan air banjir
itu. Misalnya terjun ke sungai dari atas jembatan HVA Jalan Letjend Soeprapto. atau
juga bermain selancar pakai tali yang diikat dibawah jembatan dan yang lebih
menantang beranyut dari hulu sungai. Kali ini kami putuskan untuk beranyut.
Pukul 8.00 pagi, aku dan kawan-kawan sudah berkumpul di halaman
masjid, rencananya kami akan beranyut dari kawasan Desa Pamah, Delitua, Kab.
Deliserdang, tempat hulunya Sungai Deli. Dengan modal ban dalam truk atau mobil
yang bekas sebagai perahunya, kami telah siapkan, jumlahnya ada enam buah.
Setelah semua berkumpul lalu kami langsung berangkat ke tujuan. Tak lupa
minuman dan makanan ringan untuk mengemil selama dalam perjalanan diatas ban
yang terbawa arus juga disiapkan.
Di simpang Waspada, Jalan B Katamso, kami menunggu bus Povri yang
akan membawa kami ke tujuan. Tanpa menunggu lama, bus dimaksud datang dan kami
langsung menaiki bus itu. Kernek ikut membantu menaikkan ban-ban ke atas atap
bus itu. Sedangkan kami seluruhnya berdiri, ada yang bergelantungan di pintu,
karena bus angkutan kebanggaan warga Kecamatan Delitua itu lagi penuh,
mengangkut para warganya yang kebanyakan bekerja di Medan, atau belanja di
Pasar Sambu.
"Cambuk Pak Sagir"
Rustam Effendie
SHALAT Tarawih 23 rakaat
baru saja selesai. Pak Sagir, penjaga Masjid Jami' Kampung Aur mulai menutup
pintu masjid satu persatu. Lampu dimatikan. Hanya bagian Saf laki-laki saja
yang masih dihidupkan, karena beberapa jemaah, terdiri dari kaum ibu, kaum bapak
dan remaja masjid sedang tadarus, membaca ayat-ayat suci Al Quran.
Sejumlah anak-anak tampak bermain-main di
sekitar halaman belakang masjid. Bermain mercon dan kembang api. Suara ribut
membahana hingga ke dalam masjid membuat Pak Sagir marah. Suara lecutan
cambuknya terdengar bak petir mengalahkan suara mercon. Anak-anak yang
mendengarnya langsung kabur, takut terkena sambaran cambuk orang tua berusia
hampir 70 tahun itu.
Aku selalu teringat saat Pak Sagir marah. Dia
selalu membawa cambuknya kemana pun dia pergi. Cambuk itu panjangnya dua meter,
sangat terkenal dan sangat ditakuti anak-anak masa itu. Aku pernah terkena
cambuk Pak Sagir, saat sedang ribut bersama kawan-kawan ketika sedang shalat
tarawih pada bulan Ramadhan.
Di lantai dua masjid yang terbuat dari papan
itu, anak-anak dikhususkan shalat tarawih di lantai dua, karena di lantai satu
sudah terisi penuh. Maklumlah, di awal-awal bulan Ramadhan saja masjid penuh, tapi
ketika memasuki minggu kedua, barulah agak longgar di lantai satu.
"Selop Jepang Dan Pistol Air"
Donny Philli
Dengan hanya mengenakan celana dalam aku pergi keluar rumah dan
menemui kawan-kawan. Ada Rustam, Tito, Agus, Majid, Dian, Iwin, Idus dan
lainnya, yang sudah sedari tadi menungguku, lengkap dengan handuk, sabun dan
sikat gigi, juga hanya berkolor ria. Pagi yang dingin itu menusuk kulit sampai
ke tulang kecil kami. Usia kami rata-rata baru 8 tahun.
Beramai-ramai, kami menuju ke sebuah sungai bernama Sungai Deli.
Kami memilih tempat tepian sungai khusus laki-laki yang berada di hulu, di
Jalan Mantri. Di sungai itu terdapat dua pohon Beringin yang besar, letaknya
saling berseberangan. Hanya dahan dan rantingnya saja yang saling merangkul,
menyatu, rimbun dan angker. Dibawah pohon Beringin yang lebat, yang berusia
ratusan tahun itu, kami membersihkan diri dengan mencebur ke dalamnya.
Air sungai saat itu tidak dalam, tapi sangat dingin sekali,
jernih. Maklum di pagi itu belum banyak manusia yang melakukan aktivitasnya,
mencemarkan air Sungai Deli. Bahkan bau airnya saja pun sangat harum, seharum
embun pagi yang jatuh dari dedaunan pohon beringin.
Anak-anak seusia kami sangat gembira, mandi sambil bermain adalah
fenomena yang terjadi pada anak-anak yang hidup dan tinggal di pemukiman
pinggir Sungai Deli. Tidak saja pada saat jelang Lebaran, mandi bareng ini kami
lakukan kapan saja. Pagi sekali saat berangkat sekolah, saat menjelang maghrib,
siang hari bahkan saat akan bermalam minggu. Itu sudah seperti kamar mandi alam
kami.
"Balon-Balon Panjang (Jijik)"
Donny Philli
Di belakang gedung itu, mengalir air dalam parit setinggi mata kaki orang dewasa, di jalan kecil pemukiman padat nan kumuh, Kampung Aur. Ketiga bocah itu, dari bibir parit tampak bermain menghanyutkan benda apa saja yang mengapung. Lalu benda mengapung itu berhenti di hilir parit tak jauh dari anak-anak tersebut, bersama sampah-sampah yang tersangkut.
Seorang wanita muda, cantik dan kusut, muncul dari balik jendela. Dia, menempelkan mukanya ke jeruji seakan-akan mengeluarkan kepalanya, menatap kearah luar. Matanya celingak-celinguk mengawasi sekeliling. Beruntung, tidak ada seorang pun yang lewat, yang ada hanya tiga bocah sedang bermain parit, yang tak memperhatikan si wanita cantik tadi.
Dari balik jeruji itu, tangan kiri si wanita keluar melewati jeruji besi yang mirip sel tahanan itu. Dari jari tangan si wanita meninting sebungkus plastik kresek berwarna hitam, sedangkan mata si wanita berusaha melihat ke bawah di sempitnya jeruji besi itu. Matanya tertuju pada parit kecil, tempat 3 bocah sedang bermain kapal-kapalan.
"Cabur"
Donny Philli
SEBENTAR lagi jam 8 malam. Aku baru saja keluar dari masjid,
usai melaksanakan shalat Isya berjamaah. Anak-anak sebayaku yang berumur 9-10
tahun sudah tampak duduk-duduk di teras batu di depan Masjid Jami’ kebanggaan
warga Kampung Aur itu.
Rustam yang juga baru keluar dari masjid, bersamaku ikut bergabung
dengan teman-teman itu. Kain sarung yang tadi dibawa shalat diselempangkan ke
bahu.
"Don, tadi kau nyemir dapat berapa," tiba-tiba Agus Peyang bertanya kepadaku.
Dia menanyakan hasil pencarianku dengan menyemir sepatu tadi siang.
"Cuma 1200 perak. Kau berapa?" jawabku balik bertanya. Agus pun
tertawa terbahak-bahak begitu tahu kalau aku mendapatkan hasil yang lebih
sedikit darinya.
"Hahaha... Bodohlah kau. Aku saja dapat 4000," sebutnya bangga.
"Ya pantaslah, orang dari pagi kau nyemirnya," sela ku.
Menyemir sepatu adalah pekerjaan harian kami usai pulang sekolah. Rata-tata
teman-teman sebaya menyemir sepatu untuk mencari uang tambahan jajan sekolah.
Meski pun kami masih dibawah umur, namun orangtua kami mendukung profesi itu.
Orangtua kami menganggap mencari uang sejak kecil akan mendidik kami agar lebih pintar mencari uang jika sudah dewasa. Sedikit banyaknya kami juga telah membantu meringankan beban ekonomi keluarga. Kami inilah tulang punggung keluarga, dan sekolah adalah nomor dua, pada masa itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)