Donny Philli
SETELAH melewati Lubuk Kuali
yang sangat angker dan misterius itu, rombongan anak-anak yang dibesarkan di
pemukiman pinggir Sungai Deli ini terus melaju mengikuti arus sungai yang
deras.
Udara yang dingin semakin menusuk tubuh ditambah dinginnya air sungai
hingga membuat tubuh kami menggigil, pori-pori pun menyembul bersamaan bunyi
suara gigi yang gemeretak saling beradu, membunuh keheningan siang di kawasan
Kelurahan Kedai Durian, Medan Johor.
Memasuki kawasan ini, mulai terlihat tebing-tebing cadas
berselimutkan dedaunan jalar serta tepian sungai yang sempit berbatu karak,
membuat aliran airnya semakin deras dan bergelombang. Rasa senang bercampur
cemas tergambar di wajah kami. Namun tidak seorang pun yang berani menurunkan
kakinya ke air karena takut digores batu karak yang kasar dan tajam.
Arus air semakin deras, lebar sungai pun semakin sempit. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan tepian untuk menepi. Di tebing sebelah kiri merupakan daerah Jalan Karya Jaya, Titi Kuning dan sebelah kanan Jalan Brigjend Zein Hamid, Kedai Durian. Lalu tiba-tiba…!
"Aduuh...!" jerit Dian kesakitan. Dian terlepas dari
pegangan rakit batang pisang. Kakinya berkali-kali menyentuh batu karak didalam
air, tergores dan mengeluarkan darah. Dia berusaha meraih rakit batang pisang
itu dan memeluknya erat-erat, tertelungkup, sejajar dengan batang pisang itu.
Belum usai penderitaannya. Didepan ada dua celah batu karak yang
menyempit. Air sungai saja berguling membenamkan apa saja yang lewat, seperti
menelungkupkan telapak tangan. Tentu saja kami tidak ada yang berani melewati
celah itu. Ada yang mencoba berhenti, bergelantungan dengan akar pohon,
memanjat tebing dan berjalan melewati celah itu. Tetapi ada juga yang nekat
ingin menaklukkan keganasan celah itu, yang kami sebut Lubuk Karak.
Majid dan Raju yang menggunakan pelampung ban ingin mencoba
menaklukkan celah itu. Dian yang sudah terluka dari tadi pasrah dengan keadaan.
Membiarkan diri mereka hanyut. Lalu tubuh mereka satu persatu berguncang mengikuti
arus yang bergelombang menuju celah maut itu. Semakin dekat, lalu air yang
deras menggulingkan tubuh mereka sambil berpegangan erat pada pelampung karet
ban itu dan batang pisang. Hanyut...!
Teriakan "cihuy" menghilang bersamaan tenggelamnya
ketiga teman kami yang pemberani itu. Beberapa detik kemudian, ban-ban dan
rakit batang pisang yang mereka tumpangi terapung lebih dulu, namun mereka tak
kunjung timbul. Hingga akhirnya, satu persatu kepala mereka menyembul dan
berteriak gembira. Luka lecet dikaki, tangan dan punggung mereka akibat
tergesek batu karak terasa perih. Perjalanan mengarungi sungai pun dilanjutkan.
Memasuki kawasan Kampung Baru, mulai terlihat adanya perkampungan
rumah penduduk. Matahari tepat diatas kepala, membuat kepala kami panas, rambut
kering dan kulit muka mengering, bersisik. Sesekali kami merendamkan diri di
air, membasahi kepala.
Sepanjang perjalanan, baru dua jembatan yang kami lewati, yakni
jembatan Jalan Tritura dan jembatan eks kereta api Karang Sari Polonia. Namun
sepanjang itu belum ada aktifitas penduduk yang biasa melakukan Mandi Cuci
Kakus (MCK) di pinggir sungai. Satu atau dua orang saja yang terlihat sedang
mencuci, lainnya sedang membuang hajat dengan berjongkok di pinggir tepian yang
terbuat dari papan. Kami yang hanyut santai tak mau melihat orang yang sedang
berjongkok itu, yang menampakkan bagian bokong tubuhnya yang sensitif, karena orang
itu adalah bapak-bapak.
Sore menjelang pukul 3, tubuh kami terus terbawa arus. Semakin
menuju ke hilir semakin ramai orang-orang ke tepian. Lalu kami berhenti di
sebuah perkampungan di kawasan Kelurahan Sei Mati, membeli makanan dan minuman
untuk cemilan dijalan yang sudah habis. Perjalanan kami masih jauh, sekitar 1
jam lagi.
Disepanjang pinggir sungai, orang-orang mulai terlihat ramai.
Setiap sore pemandangan ini rutin terjadi. Maklum, banyaknya rumah penduduk ketika
itu yang belum memiliki MCK maupun air bersih. Segala urusan mandi, cuci dan
kakus semua dilakukan di sungai. Yang tua, yang muda silih berganti baik
perempuan maupun laki-laki.
Pemandangan inilah menjadi nilai tersendiri. Karena sebagian besar
diantara mereka adalah kaum wanita, yang selalu melakukan aktifitas menyuci
pakaian, cuci piring, mandi atau pun buang kotoran. Tetapi yang menjadi daya
tarik sendiri adalah ketika anak-anak remaja perempuan sebaya kami sedang mandi
di tepian. Ada juga yang mandi di tengah sungai, tentu dengan pakaian basah.
Kami pun menggodanya. Siulan nakal dari bibir kami saling
bersahutan, tujuannya hanya untuk mencari perhatian sang cewek-cewek bibir
sungai. Digoda, cewek-cewek itu malah senang. Ada juga yang membalas godaan
kami. Yang mengajak kenalan pun juga ada. Di sepanjang perjalanan beranyut itu,
suasana tepian sungai begitu riuh. Seperti di pasar malam.
Tetapi bagi yang tidak senang dengan kehadiran kami, terutama bagi
remaja prianya yang tak suka remaja putrinya diganggu, memarahi kami. Bahkan
ada yang berniat jahat melempar kami dengan batu ataupun lumpur. Namun, karena
berada di kampungnya, kami tidak berani melawan, takut kalau-kalau kami
diserang satu kampung.
“Tandai aja orang itu. Nanti kalau jumpa di Perisai (plaza), kita
hajar,” seru Rustam.
Selama mengarungi Sungai Deli, selalu menimbulkan keasyikan
tersendiri, selain kawan-kawan yang nakal, yang iseng menggoda cewek-cewek
remaja yang sedang mandi. Pemandangan-pemandangan menarik juga menjadi kesan
tersendiri buat kami. Tak jarang, ngintip secara tidak sengaja itu menambah
pengalaman kami. Para gadis-gadis yang mandi di sungai, dengan sendirinya menampilkan
lekuk-lekuk tubuh yang basah yang tertutup kain basahan. Sesekali kulit mulus
si wanita terlihat tak sengaja ketika mereka mulai menyabuni bagian tubuhnya.
Darah kami langsung berdesir, membangkitkan gelora pubertas kami. Mata tak
berkedip, memandang keindahan tepian sungai.
Dengan ditutup kain basah tadi, tangan-tangan lentik itu
menyelinap kebalik kain basahan, menyapu setiap lekuk tubuhnya.
"Wah, putihnya... Maulah jadi sabunnya," celoteh Tito
yang disambut gelak tawa kami. Si cewek remaja sadar telah dicandai dan
dilecehkan, namun didirinya timbul rasa bangga bahwa tubuhnya telah dipuji,
dinilai, merasa dihargai dan tentu saja senang sedang digoda oleh laki-laki
Sekitar jam 6 Sore, barulah kami sampai di Kampung Aur. Kami
menepi dibawah jembatan HVA. Kami yang sempat lupa dengan tubuh kedinginan saat
menyaksikan keindahan tepian sungai, mulai merasa kedinginan. Tubuh menggigil,
bibir pucat, begitu juga dengan jari-jari kaki dan tangan yang pucat pasi.
Dengan basah-basah, kami berkumpul di halaman depan masjid. Cerita-cerita
tentang beranyut tadi kembali dibahas. Perut yang kosong pun diisi dengan
kue-kue yang dijual di di halaman masjid itu. Menjelang azan Maghrib, kami
sudah membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing, membawa sepenggal
senyuman... (dp)
No comments:
Post a Comment